Jumat, 22 Januari 2016

Perempuan dan Lelaki Hujan



Kata orang hari minggu biasanya menjadi hari untuk bermalas-malasan, sebagian lainnya bahkan berpikir berlebihan bahwa gravitasi bumi menjadi lebih kuat pada hari minggu sehingga terkadang memaksa mereka untuk berdiam membungkus diri dalam selimut apalagi ketika diiringi oleh musik natural, hujan. Pemikiran-pemikiran seperti itu pun kadang hinggap dalam otakku namun untuk hari ini tidak. Hari ini aku punya jadwal untuk diriku sendiri yaitu berbelanja dan memasak. Sebenarnya tak ada yang spesial hari ini, sama saja dengan hari lainnya. Namun, kemauan “langka” aku untuk memasak tiba-tiba muncul karena malam sebelumnya aku menonton video tutorial memasak di Youtube tentang cara membuat risoles.

Aku akan berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Makassar, Carrefour. Toko ini berada di Jalan Perintis Kemerdekaan, letaknya tak begitu jauh dari rumah. Disisi lain, hujan nampaknya menjadi salah satu kendala untuk berangkat karena aku hanya akan  menggunakan motor dan kondisi aku yang selalu mengabaikan untuk membeli jas hujan nampaknya sudah mulai terlihat akibatnya. Akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan taksi saja.

Aku mulai membuka daftar belanjaan yang telah aku buat dan mengunjungi rak demi rak letak bahan-bahan yang akan aku beli. “Rasanya sudah semua” Pikirku. Aku akhirnya mengantre di kasir untuk melakukan pembayaran. Setelah melakukan pembayaran, aku keluar dari pintu toko dan berdiri di depan parkiran mobil. Parkirannya sangat sepi, hanya ada tiga mobil yang terparkir disana.

Pulang dan memasak adalah tujuan selanjutnya. Aku berdiri cukup lama untuk menunggu hujan reda namun nampaknya tak ada tanda-tanda. Jika ingin pulang, aku harus menyebrang jalan dulu untuk menunggu angkutan umum yang mengarah ke rumah. Tetapi hujan serasa menjadi semakin deras, nadanya semakin lantang, butirannya juga terlihat semakin besar. Butiran hujan dan kulit bumi bertabrakan satu sama lain, percikannya tersebar ke segala arah bahkan tergenang. Apakah sedramatis ini rindu hujan kepada bumi? Mereka rela saling bertabrakan dan membanjiri kota untuk melampiaskan rindu. 

Saat itu aku melihat seorang anak lelaki yang berumur sekitar sebelas atau dua belas tahun sedang menari-nari di bawah rinai hujan. Dia nampaknya sangat menikmati irama hujan. Aku melihatnya memegang payung bermotif pelangi yang berukuran lumayan besar untuk melindungi tubuh mungilnya, tetapi mengapa tak dimanfaatkan?

Di sisi lain, ada seorang ibu-ibu yang baru saja keluar dari pintu toko sambil mendorong troli. Dia berdiri tepat di sampingku. Tangan kirinya memegang kunci mobil sementara tangan kanannya tetap berpegangan pada troli. Dia memanggil anak lelaki itu dengan sebutan “Hoe, kesini!” sambil melambaikan tangan. Anak itu menghampiri dan memberikan payungnya kepada si ibu sementara dia tetap berjalan santai di bawah hujan mengikuti langkah si ibu menuju mobilnya. Uang lima ribu rupiah dikeluarkan oleh ibu tersebut untuk upah sang anak. Anak itu tersenyum sangat bahagia setelah diberikan upah. Rupanya anak lelaki itu adalah seorang ojek payung.

Anak itu berhasil menyedot perhatianku sepenuhnya, aku pun jadi lupa untuk memperingati diriku sendiri untuk segera pulang.

“Kak payung, Kak?” Tanya sang anak yang menghampiriku setelah mengantarkan pelanggan sebelumnya.

Aku mengiyai dan meminta sang anak untuk mengantarku ke seberang jalan dan dia setuju. Kami mulai berjalan meninggalkan toko. Seperti pemandangan sebelumnya, anak ini juga tidak mau berteduh di dalam payung bersamaku padahal payungnya cukup untuk dua orang. Perjalanan ke seberang jalan lumayan lama karena harus berjalan kaki keluar dari area parkiran toko dan menunggu kendaraan agar mau mengalah untuk kami menyebrang.

Kami menghabiskan waktu untuk mengobrol dan rasa penasaran aku tentang anak ini tentu saja segera aku tanyakan.

“Saya rindu hujan kak, hujan ini rejeki saya jadi saya tidak mau membuang waktu untuk melewatkan hujan. Karena hujan memberi saya rejeki, basah bukan masalah kak, apalagi ini hari minggu, saya sedang libur.” Kata sang anak, menjelaskan.

Aku hanya terdiam memperhatikan cara sang anak lelaki itu berbicara sambil memendam rasa kagum tentang kegigihannya dan kesyukurannya yang luar biasa kepada nikmat yang diberikan Sang Pencipta. 

Rabu, 13 Januari 2016

Cerita antara Ban Bocor dan Sepatu

Rabu, 6 Januari 2016 merupakan jadwal kegiatan sekolah alam yang akan dilaksanakan di wilayah Paotere Makassar. Kegiatan ini adalah kegiatan donasi dari Sekolah Alam Bosowa melalui Komunitas Lemina (Lembaga Mitra Ibu dan Anak). Tiga hari sebelum pelakasanaan kegiatan tersebut, kami dari komunitas Lemina telah mengadakan rapat atau diskusi tentang persiapan-persiapan yang akan dilakukan dalam  menyukseskan acara tersebut.

Selasa malam, beberapa jam sebelum pelaksanaan kegiatan ini, saya mulai menyiapkan barang-barang yang akan saya perlukan untuk kegiatan besok. Baju kemeja berwarna biru muda dan celana katun biru tua serta jilbab berwarna senada menjadi pilihan saya untuk kegiatan yang akan dilaksanakan besok. Kata beberapa teman, saya orangnya sedikit perfeksionis, sebutan untuk seseorang yang selalu ingin melihat dan melakukan semuanya dengan sempurna. Saya pun kadang-kadang merasakan itu, saya sering mengkaji lebih detil sebelum atau saat melakukan sesuatu. Bahkan, “great thing takes time” biasanya menjadi prinsip saya. Saya tidak tahu apakah ini sifat yang positif atau negatif karena beberapa teman tetap mengeluhkan hal ini kepada saya.

Saya mulai menyetrika outfit pilihan saya sambil mengobrol dengan mami, panggilan saya kepada seorang perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan saya. Setahun belakangan ini mami menderita nyeri punggung atau biasa disebut Low Back Pain (LBP) dalam istilah medis. Oleh karena itu, mami harus mengikuti terapi rutin selama satu minggu yang terletak di Jalan Pongtiku Makassar. Karena perjalanan menuju lokasi Sekolah Alam melewati tempat terapi mami, maka saya pun bersedia untuk membawa mami ke lokasi terapi sebelum melanjutkan perjalanan ke Paotere.

Keesokan harinya, tepatnya pukul 06.45, saya dan mami sudah siap untuk berangkat. Dua menit setelah mengunci pintu rumah, saya menyadari bahwa saya belum memilih sepatu untuk dikenakan hari ini. Saya kembali membuka pintu rumah dan memerhatikan kotak demi kotak yang tersusun rapi diatas rak sepatu yang terletak di belakang pintu. Kebetulan satu minggu yang lalu saya membeli sebuah sepatu flat berwarna biru tua dan baru sekali saya pakai, warnanya sangat pas untuk saya kenakan bersama potongan celana dan jilbab saya hari ini.

Saya merasakan keanehan saat mengendarai motor sehingga saya memutuskan untuk berhenti. Tepat pukul 07.00 kami berhenti di depan kompleks rumah kami, Perumahan Nusa Tamalanrea Indah. Ternyata ban motornya bermasalah. Saya dan mami akhirnya mendorong motor sekitar sepuluh meter untuk mencapai tempat tambal ban. Saya tidak tahu apakah tempat itu bisa dikategorikan sebagai bengkel atau tidak, kerena hanya melayani tambah angin dan tambal ban saja bahkan pemiliknya hanya menggunakan gerobak dorong.
“bannya bocor dek, lubangnya ada lima, ini pakunya” kata bapak tukang tambal sambil menunjukan dua buah paku kecil di telapak tangannya.

Saya tidak berkata apa-apa, hanya mami yang berdiskusi banyak dengan bapak tersebut. Sebenarnya kami berhenti di lokasi yang tepat karena sekeliling kami adalah sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan, dimana sisi kiri dan kanannya adalah bengkel, bahkan tepat di sebelah kiri kami adalah Bengkel Resmi Yamaha. Sayangnya, tidak ada bengkel yang terbuka pada jam-jam seperti ini, paling cepat jam sembilan pagi, berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari Bapak tukang tambal.

Saat saya menanyakan solusi untuk motor saya, dia bilang ban dalamnya harus diganti. Jika terburu-buru untuk mengganti sekarang maka sebaiknya mencari ban dalam di bengkel lain. Saya memutuskan untuk menggunakan jasa ojek untuk mencari ban dalam motor.
“Tidak usah naik ojek dek, di sekitar sini semuanya bengkel. Coba saja jalan kaki kesana, ke arah BTP” kata Bapak tukang tambal sambil menunjuk ke arah Perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP) yang sejenak membuat saya berpikir.

Akhirnya saya dan Mami berjalan kaki hingga ke depan Perumahan BTP. Tak ada satupun bengkel yang terbuka, kami pun menyerah dan kembali ke lokasi kami sebelumnya. Saat perjalanan pulang, kami begitu senang karena satu bengkel baru saja terbuka. Kami pun menyapa pemiliknya yang baru saja selesai membuka pintu bengkel tersebut dan berharap masalah kami dapat menemukan solusi.

“Ban dalam belakang untuk motor habis mbak” Kata pemilik bengkel

Saya semakin lesu dan tidak bersemangat. Saya akhirnya memutuskan untuk menunggu hingga bengkel lainnya terbuka. Saya menghabiskan hampir dua jam untuk menunggu.

“Sepatu ini tidak pembawa sial kan? Kenapa ban motornya bocor? Kemarin waktu memakai sepatu ini jalan-jalan bersama kak fajar (kakak kadung saya) menggunakan sepeda motornya, ban motornya juga bocor”

Entah dari mana saya mendapat pikiran seperti itu karena jika dipikir secara logika, tak ada hubungannya sama sekali ban bocor dengan sepatu. Tapi faktanya dua kali mengenakan sepatu itu, dua kali juga ban motor pecah.

Minggu, 10 Januari 2016

Metamorfosa


Banyak yang bilang kalau hidup ini adalah panggung sandiwara. 
Tuhan adalah sang penulis skenario, manusia menjadi aktrisnya dan dunia menjadi panggungnya. Boleh jadi kamu tidak menyukai peranmu yang kadang-kadang tidak sesuai dengan set panggung. Tapi ini hidup, bukan proses shooting yang menuntutmu setia pada satu jenis peran. Hari ini mungkin kamu protagonis tapi esok mungkin peranmu berubah menjadi antagonis. 

Sebagai seorang aktris, kamu bebas mengekspresikan peranmu dan melibatkan tokoh lainnya dalam panggungmu. Tapi ingat, kamu bergantung pada banyak hal sebelum mengubah peranmu, seperti penyesuaian dengan tokoh lain dan atau set panggung. Kamu pasti tidak ingin memainkan peran yang monoton karena aktris profesional adalah yang mampu memainkan peran apapun. 

Tidak semua tokoh mampu beradu acting denganmu. Beberapa memang bisa jadi panutan tapi sebagian lainnya boleh jadi hanya menuntunmu ke jalan buntu. 

Lalu sebagian tokoh merenung, memikirkan cara agar tidak gusar menjalani perannya di kemudian hari. Berubah kemudian menjadi pilihan. Sayangnya, tidak semua tokoh mampu mengapresiasi bahkan menerima perubahan peran dan karakter tokoh lain sehingga ada yang diam-diam pergi dan tidak hadir lagi dalam panggung kehidupanmu.





Tapi itulah pilihan. 
Bukankah sebelum menikmati sayapnya, kupu-kupu pun adalah seekor ulat? 
Tenanglah, kamu tidak harus bermonolog diatas panggung.

Dan rindu menjadi perkara baru setelah pertemuan dan bahkan persahabatan dengan tokoh lain yang tiba-tiba menghilang dari panggung kehidupanmu. Bayangan masa lalu menjadi begitu kuat, datang seperti beban yang menimpa ruang hati. 

Opera rindu pun dimulai. Keyakinan ada dalam dadamu bahwa dia pun demikian. 
Peganglah dulu rindumu sebaik mungkin dan simpan dalam doa. Bukankah lebih indah jika sepasang mata yang tidak bertemu lalu dipertemukan dalam doa? Karena bagimu, rindu adalah persimpangan yang mampu melihat segala arah dan bahkan saling berbisik dalam sunyi.

Tapi dia terlihat sangat baik-baik saja tanpa kamu. 
“Ah mungkin beginilah seharusnya, set panggung sudah berbeda” gumammu. 
Tapi komitmen persahabatan bukanlah skrip semata yang hanya diucapkan dalam peran, ia sakral.

Saat kamu menjumpai dia yang dulu hilang dari panggungmu, dia tersenyum dan kamu pun demikian. Indah ternyata jika senyuman dibalas dengan senyuman, seperti sebuah doa yang dilantunkan kemudian tiba-tiba dikabulkan. Tapi tunggu, ada yang salah dengan senyum itu, nampak tidak simetris. Lekukannya berbeda sekian derajat dengan sisi lainnya. Itu topeng. Palsu.

Menghampiri dia seperti sebuah aib buatmu. Tapi demi menelusuri ruang rindu yang berkecambuk di dalam hatimu, kamu pun rela menebalkan wajah menghampirinya. 
Halo atau hai telihat bukan kata yang tepat untuk memulai percakapan. Itu hanya basa-basi. 
Jarakmu kini hanya sekitar dua meter dari dia. Entah sedahsyat apa kekuatan gravitasi disana hingga mampu menundukan kepala kalian berdua selama beberapa menit. Mungkin itu cara kalian mengalihkan rasa gugup.

Kamu memulainya dengan mengangkat dagu menghadap wajah yang dulu hampir tak pernah absen dari panggungmu. 
“Kita bukan lagi berperan seperti karakter awal. Semuanya sudah berubah” kata dia yang masih asyik memandangi lantai yang tiada menarik-menariknya, seolah tak ingin terlibat dalam percapakan yang menimbulkan kontak mata. 

Lalu ada hal lain yang kalian bicarakan dan aku tahu. Semuanya tergambar sangat jelas dari raut wajah kalian. 
Jangan kuatir, telah kusimpan rapat-rapat rahasia besar kalian karena aku adalah seorang penikmat drama yang sedang mendalami karakter sebagai kamu.

Rabu, 06 Januari 2016

Perempuan tanpa lipstik



Sejatinya perempuan adalah sosok yang mampu menentramkan hati dan menenangkan jiwa jika dipandang. Teduh dan menarik. Beberapa pun nampak indah dengan riasan yang sengaja dipoles pada wajahnya. Namun, perempuan ini berbeda. Perempuan diam dengan latar senja yang merambat diabadikan kedalam dimensi lain berbentuk pixel.  Barisan abjad tak mampu menggambarkan betapa menawannya mahluk ini. Lekuk wajahnya begitu tajam, kerutan kecilpun nampak tiga dimensi. Alisnya Nampak pudar dengan tulang alis yang nampak lebih menonjol.  Tak ada warna mencolok dalam paduan bentuk wajahnya. Hampir seluruhnya berwarna sama- coklat muda. Kerudung tua menghiasi wajahnya yang dililit menutupi rambut coklat-putihnya. Benar saja, tak ada warna yang melekat pada bibirnya.

Saat kutanya mengapa, jawabnya begitu elegan. “bukankah Tuhan telah menciptakan hambanya dalam bentuk yang sangat sempurna?”

Puisi di ketinggian ribuan kaki




Apa kabar dua pasang mata yang tak pernah bertemu lagi?
Mungkin kita sudah lupa rasanya saling bercerita dan bahkan menyapa satu sama lain. Janji persahabatan ternyata bisa diingkari. Hendaknya kita tidak meyalahkan waktu yang sudah terporsir  24 jam sehari atau menyalahkan kesibukan masing-masing untuk perjuangan masa depan. Mungkin ego yang telah merampas indahnya persahabatan. Puisi di ketinggian ribuan kaki pun kini nampaknya sudah hilang dari ingatan. Tak apa. Telah kusampaikan pasrahku kepada diri sendiri.

Tulisan Perempuan

Popular Posts