“Hari ini kita kemana? Bukan
alun-alun lagi kan? Tolong kasih aku weekend yang berbeda” Tegas Eky, seorang
sahabat yang aku kenal di Kampung Pare, Kediri, Jawa Timur.
Sebenarnya kami sudah sering merencanakan
liburan bersama di akhir pekan tapi selalu saja gagal karena hal-hal sepele
seperti mager (malas gerak), banyak cucian, ada tugas dan beberapa alasan lain
yang sebenarnya bisa ditolerir. Tapi untuk wekeend kali ini sepertinya akan
benar-benar terwujud.
“Kalian sudah pernah ke Blitar
belum? Ke Makam Bung Karno yuk, dua minggu lalu aku kesana tapi rasanya kurang
puas.” Aku memberi saran.
Kami ahkirnya memutuskan
berangkat dari kost menggunakan sepeda menuju perempatan Tulungrejo untuk
menunggu bus menuju Blitar. Kampung Pare ini memang terkenal dengan sepedanya,
kebanyakan orang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Kami sempat
bingung menitipkan sepeda dimana, menyimpannya di pinggir jalan tentu saja
tidak aman karena kemungkinan besar kami akan pulang malam. Tak jauh dari
Perempatan Tulungrejo, ada sebuah keluarga yang bersedia menampung sepada kami dan
kami sangat senang.
Perjalanan ke Blitar membutuhkan
waktu dua jam. Kami berempat duduk berdekatan dengan seorang Ibu-ibu yang juga
melakukan perjalanan dari Surabaya ke Blitar. Beliau baru saja mengunjungi kerabatnya
di Surabaya dan akan pulang ke rumahnya di Blitar.
Faktanya, sampai saat ini
kami belum tahun siapa nama ibu tersebut, panggil saja ibu Sri (Nama samaran)
“Kalian dari mana? Bukan orang
sini yah” Tanya Ibu Sri.
“Iya bu, kami semua dari
Makassar” Jawab Main.
“Kalian mau ngapain ke Blitar?
Kalian tahu jalan?”
“Kami mau jalan-jalan saja bu,
rencanya mau ke makam Bung Karno” Kami menjawab
“Kalian tahu jalan?”
“Heheh, enggak bu, ini baru mau
nanya.” Jawabku sambil tertawa.
“Ya udah kalian ikut ibu saja,
rumah ibu deket dari situ” Ajak Ibu Sri.
Kami berhenti di sebuah
perempatan di Daerah Blitar dan mengikuti ibu Sri. Kata Ibu Sri kita mampir ke
rumahnya dulu untuk istarahat dan makan sekalian diantar menuju tempat tujuan
kami. Kebaikan Ibu Sri tentu saja membuat kami begitu kebingungan sekaligus
bahagia, karena kami hanyalah orang baru yang baru saja dikenalnya di atas bus.
Rumah keluarga ini begitu
sederhana namun sangat hangat. Kami berkenalan dengan beberapa anggota
keluarganya dan mereka sangat baik kepada kami. Setelah istirahat sebentar dan
makan jamuan yang telah disediakan, kami berangkat menuju Makam Bung Karno
ditemani oleh Nindy, anak Ibu Sri dan Rosa, keponakan Ibu Sri.
Kami semakin bahagia, kebaikan
yang diberikan oleh kelurga Ibu Sri seperti sebuah kehangatan yang sangat kami
rindukan setelah berpisah lama dengan keluarga kami masing-masing.
Setelah puas berjalan-jalan di
Makam dan Museum Bung Karno, kami memutuskan untuk pulang.
Kami kembali ke
rumah Ibu Sri dan kami kembali diperlakukan sangat baik bahkan mereka
menawarkan kami untuk menginap karena besok merupakan hari libur, tapi kami
tidak bisa karena kami ada urusan lain yang harus kami selesaikan besok di
Pare.
Saat kami berpamitan untuk
pulang, Ibu Sri dan Pak Ngatelin, suaminya, serta mbah terlihat sedih. Adapun
rasa penasaran saya yang sangat tinggi tentang kebaikan keluarga ini langsung
saya tanyakan kepada Ibu Sri yang tentu saja dalam bahasa yang sopan.
“Anak ibu ada yang merantau di
Kalimantan, saya berharap anak ibu juga ketemu dengan orang-orang yang baik
disana, enggak dijahatin sama orang. Makanya, ibu tuh ngerti banget kalau ada
anak muda yang datang merantau dari jauh, meskipun keadaan kami biasa-biasa
saja. Kami membantu apa yang bisa kami bantu.” Jelas Ibu Sri.
Penjelasan Ibu Sri membuat kami
sangat terharu dan menangkap hikmah bahwa Ibu Sri sangat menyayangi anaknya dan
juga menyadari bahwa untuk mendapatkan kebaikan, kita harus berbagi kebaikan. Keluarga
ini bahkan mengantar kami ke stasiun untuk membeli tiket kereta dan pulang ke Pare.