Jumat, 19 Februari 2016

KEBAHAGIAAN DARI BLITAR



“Hari ini kita kemana? Bukan alun-alun lagi kan? Tolong kasih aku weekend yang berbeda” Tegas Eky, seorang sahabat yang aku kenal di Kampung Pare, Kediri, Jawa Timur.

Sebenarnya kami sudah sering merencanakan liburan bersama di akhir pekan tapi selalu saja gagal karena hal-hal sepele seperti mager (malas gerak), banyak cucian, ada tugas dan beberapa alasan lain yang sebenarnya bisa ditolerir. Tapi untuk wekeend kali ini sepertinya akan benar-benar terwujud.
“Kalian sudah pernah ke Blitar belum? Ke Makam Bung Karno yuk, dua minggu lalu aku kesana tapi rasanya kurang puas.” Aku memberi saran.

Kami ahkirnya memutuskan berangkat dari kost menggunakan sepeda menuju perempatan Tulungrejo untuk menunggu bus menuju Blitar. Kampung Pare ini memang terkenal dengan sepedanya, kebanyakan orang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Kami sempat bingung menitipkan sepeda dimana, menyimpannya di pinggir jalan tentu saja tidak aman karena kemungkinan besar kami akan pulang malam. Tak jauh dari Perempatan Tulungrejo, ada sebuah keluarga yang bersedia menampung sepada kami dan kami sangat senang.

Perjalanan ke Blitar membutuhkan waktu dua jam. Kami berempat duduk berdekatan dengan seorang Ibu-ibu yang juga melakukan perjalanan dari Surabaya ke Blitar. Beliau baru saja mengunjungi kerabatnya di Surabaya dan akan pulang ke rumahnya di Blitar. 

Faktanya, sampai saat ini kami belum tahun siapa nama ibu tersebut, panggil saja ibu Sri (Nama samaran)
“Kalian dari mana? Bukan orang sini yah” Tanya Ibu Sri.
“Iya bu, kami semua dari Makassar” Jawab Main.
“Kalian mau ngapain ke Blitar? Kalian tahu jalan?”
“Kami mau jalan-jalan saja bu, rencanya mau ke makam Bung Karno” Kami menjawab
“Kalian tahu jalan?”
“Heheh, enggak bu, ini baru mau nanya.” Jawabku sambil tertawa.
“Ya udah kalian ikut ibu saja, rumah ibu deket dari situ” Ajak Ibu Sri.

Kami berhenti di sebuah perempatan di Daerah Blitar dan mengikuti ibu Sri. Kata Ibu Sri kita mampir ke rumahnya dulu untuk istarahat dan makan sekalian diantar menuju tempat tujuan kami. Kebaikan Ibu Sri tentu saja membuat kami begitu kebingungan sekaligus bahagia, karena kami hanyalah orang baru yang baru saja dikenalnya di atas bus.

Rumah keluarga ini begitu sederhana namun sangat hangat. Kami berkenalan dengan beberapa anggota keluarganya dan mereka sangat baik kepada kami. Setelah istirahat sebentar dan makan jamuan yang telah disediakan, kami berangkat menuju Makam Bung Karno ditemani oleh Nindy, anak Ibu Sri dan Rosa, keponakan Ibu Sri.

Kami semakin bahagia, kebaikan yang diberikan oleh kelurga Ibu Sri seperti sebuah kehangatan yang sangat kami rindukan setelah berpisah lama dengan keluarga kami masing-masing.
Setelah puas berjalan-jalan di Makam dan Museum Bung Karno, kami memutuskan untuk pulang. 

Kami kembali ke rumah Ibu Sri dan kami kembali diperlakukan sangat baik bahkan mereka menawarkan kami untuk menginap karena besok merupakan hari libur, tapi kami tidak bisa karena kami ada urusan lain yang harus kami selesaikan besok di Pare.

Saat kami berpamitan untuk pulang, Ibu Sri dan Pak Ngatelin, suaminya, serta mbah terlihat sedih. Adapun rasa penasaran saya yang sangat tinggi tentang kebaikan keluarga ini langsung saya tanyakan kepada Ibu Sri yang tentu saja dalam bahasa yang sopan.

“Anak ibu ada yang merantau di Kalimantan, saya berharap anak ibu juga ketemu dengan orang-orang yang baik disana, enggak dijahatin sama orang. Makanya, ibu tuh ngerti banget kalau ada anak muda yang datang merantau dari jauh, meskipun keadaan kami biasa-biasa saja. Kami membantu apa yang bisa kami bantu.” Jelas Ibu Sri.

Penjelasan Ibu Sri membuat kami sangat terharu dan menangkap hikmah bahwa Ibu Sri sangat menyayangi anaknya dan juga menyadari bahwa untuk mendapatkan kebaikan, kita harus berbagi kebaikan. Keluarga ini bahkan mengantar kami ke stasiun untuk membeli tiket kereta dan pulang ke Pare.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan Perempuan

Popular Posts