Selasa, 30 Oktober 2012

pro-kontra BPJS

"Social security systems contribute not only to human security, dignity, equity and social justice, but also provide a foundation for political inclusion, empowerment and the development of democracy." Juan Somavia.
Bisa jadi, tak banyak orang mengerti hikayat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Menjelang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, 8 Juli 2009, sekelompok aktivis melakukan kampanye publik-termasuk lobi ke markas tim sukses capres-cawapres-agar Sistem Jaminan Sosial Nasional menjadi agenda utama. Di tempat capres-cawapres Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto, gayung bersambut. Namun, di markas SBY-Boediono, usul itu tak digubris.
Pada pengujung lima tahun pemerintahan SBY-JK, amanat UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) agar membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) jalan di tempat. Ini jelas pelanggaran konstitusi dan amanat rakyat! Pada saat bersamaan, warga Amerika Serikat sedang eforia merayakan kemenangan Barack Obama yang mengusung reformasi jaminan kesehatan. Jika AS yang kapitalis liberal memperhatikan warganya yang miskin dan rentan melalui jaminan sosial, kenapa Indonesia yang Pancasilais tidak?
Upaya itu kemudian berlanjut di parlemen. Draf rancangan undang-undang (RUU) versi masyarakat sipil akhirnya diterima perwakilan PDI-P tanpa banyak komentar. Perwakilan Partai Demokrat yang juga hadir diam seribu bahasa. Maklum, kala itu, jaminan sosial dipandang sebelah mata. Draf tersebut lantas diambil alih menjadi hak inisiatif DPR, sekaligus diagendakan dalam Program Legislasi Nasional.
Seiring pembahasan RUU BPJS di Senayan, dua kelompok sama-sama menggugat jaminan sosial: pro dan kontra. Sejatinya SJSN dan BPJS untuk siapa? Apakah perdebatan itu sekadar kegenitan intelektual? Siapa menyuarakan kepentingan siapa?
Tirai diktator minoritas.
Menjernihkan benang kusut BPJS dapat diurai dari sisi aktor, substansi, dan implementasi kebijakan. Dari peta aktor, pro-kontra BPJS tidak banyak berubah sejak legislasi UU Nomor 40 tentang SJSN pada 2004. Jika lokus perdebatan SJSN berada di internal pemerintah, pertarungan pro-kontra BPJS meluas antarkelompok masyarakat.
Mereka yang giat mendorong jaminan sosial antara lain tokoh intelektual seperti Sulastomo dan Hasbullah Thabrany. Sejumlah aktivis dan puluhan elemen serikat buruh bergabung membentuk Komite Aksi Jaminan Sosial, menjadikan jaminan sosial tidak semata eksklusif tuntutan buruh, tetapi kepentingan semua warga negara melalui aksi May Day pada 2010 dan 2011.
Sementara kelompok yang menolak SJSN dan BPJS dikomandani mantan menteri kesehatan, yang sekarang menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Siti Fadilah Supari. PT Jamsostek adalah satu di antara empat BUMN yang paling tegas menolak BPJS. Posisi pemerintah, dari Presiden hingga penggawanya, setali tiga uang. Kalangan pengusaha pun berdalih terbebani biaya produksi.
Dewan Kesehatan Rakyat, Institute for Global Justice, dan Hizbut Tahrir Indonesia adalah pendatang baru yang menolak BPJS dengan menggugat SJSN melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi. Sementara wakil rakyat di Senayan yang semestinya menyerap dan memasak aspirasi rakyat justru berposisi sebagai penggembira, menanti sinyal dari Istana dan ikut ke mana arah angin berembus.
Hakikatnya, jaminan sosial merupakan upaya negara melakukan redistribusi keadilan dan kesejahteraan melalui asuransi sosial atau pajak. Jika menggunakan asuransi sosial, risiko seseorang apabila sewaktu-waktu sakit, kecelakaan, atau meninggal ditanggung dengan solidaritas bersama melalui iuran. Jika menggunakan pajak, yang kaya menyubsidi yang miskin untuk meminimalisasi kesenjangan.
Oleh karena itu, bentuk kelembagaan harus nirlaba agar masyarakat sebagai peserta mendapat manfaat sebesar-besarnya, bukan BUMN yang profit-oriented seperti sekarang. Basis moral pendukung BPJS tak lain, negara kok tidak hadir melindungi warganya secara aktif, tetapi membiarkan mereka menanggung risiko sosial sendiri akibat kegagalan pasar. Kebijakan residual, perlindungan minimal terhadap warga dengan peran negara pasif, senantiasa dilanggengkan.
Celakanya, mereka yang menolak BPJS tak bisa memberikan argumentasi memadai selain slogan dan retorika, seperti SJSN tidak menyejahterakan rakyat atau SJSN pro-asing. Umumnya mereka berdalih, lha, namanya jaminan, ya, harus dijamin seluruhnya oleh negara! Sebuah argumen yang lebih menggunakan "rasa" ketimbang penalaran subtantif. Padahal, jaminan sosial bukan bantuan sosial ala Jamkesmas, melainkan instrumen untuk mengelola kegagalan pasar dan ketidakpastian global.
Dari sisi implementasi kebijakan, perdebatan berkutat pada ayam atau telur yang lebih dulu. Pemerintah senantiasa berlindung di balik asumsi beban fiskal tidak memadai dan ketidaksiapan infrastruktur. Uniknya, reformasi jaminan sosial di AS yang digaungkan sejak Roosevelt dapat diimplementasikan Obama dalam kondisi AS terempas krisis ekonomi 2007.
Lebih celaka lagi, praktik jaminan sosial justru dijadikan alat kendali politik negara atas sektor swasta (Dinna Wisnu, 2007). Dengan label BUMN, secara politik dapat dikontrol sekaligus memerankan fungsi investasi dan mesin pencari uang. Simbiosis mutualisme antara pimpinan negara dan birokrat (sharing of safe haven between bureaucrats and state leaders) masih menjadi tradisi. Dominasi perwakilan pemerintah dalam komposisi Dewan Jaminan Sosial Nasional merupakan wajah lain kontrol politik pemerintah.
Bukan rahasia, BUMN adalah penyedia dana nonbudgeter bagi penguasa. Aset keempat badan pengelola, yakni Jamsostek, Askes, Taspen, dan Asabri, sekitar Rp 200 triliun merupakan kue manis bagi mereka yang lapar bak burung nazar. Dalam perspektif ekonomi politik, perilaku politik predator berupa transaksi di kalangan elite untuk uang dan kekuasaan kian menjadi kanker kronis. Apa yang ditransaksikan jauh dari kepentingan rakyat.

Politik redistribusi.
Peter R Orszag dalam tulisannya, "How Health Care Can Save or Sink America: the Case for Reform and Fiscal Sustainability" (Foreign Affairs, Juli/Agustus, 2011), mengungkapkan, kondisi fiskal Negeri Paman Sam bergantung pada bagaimana negara membatasi biaya layanan kesehatan. Namun, menurut mantan Direktur Badan Anggaran Kongres AS yang pernah menjadi pejabat teras Gedung Putih itu, reformasi yang digaungkan Obama merupakan langkah maju yang benar dan implementasinya harus ditekankan pada kualitas ketimbang kuantitas pelayanan.
Tatkala AS dirundung persoalan rentang usia penduduknya, sebagian besar warganya menua sehingga produktivitas ekonomi menurun dan layanan kesehatan meningkat, Indonesia justru dalam posisi sebaliknya. Ibarat durian runtuh, Indonesia mujur mendapat bonus demografi, tren penduduknya berada pada usia produktif hingga 2050. Bedanya, Obama sigap merespons fakta dan menurunkannya menjadi kebijakan, sementara dua periode pemerintahan SBY, Indonesia masih jalan di tempat.
Jaminan sosial semestinya menjadi pintu politik redistribusi keadilan dan kesejahteraan sosial, peluang menanam investasi untuk masa depan negara yang kuat. Mantan Direktur ILO Juan Somavia (2003) menegaskan, sistem jaminan sosial yang didesain dengan baik tidak hanya menghasilkan manfaat sosial, meningkatkan performa pembangunan ekonomi sebagai jalan menuju kemakmuran, tetapi juga keunggulan komparatif sebuah negara dalam kompetisi global.
Akankah BPJS membusuk di Senayan, diimplementasikan menanti dana dan infrastruktur mencukupi atau berjalan dulu, sambil dibenahi kemudian? Bagaimanapun, setiap warga negara berhak atas jaminan sosial dan silakan Anda menilainya.

1 komentar:

Tulisan Perempuan

Popular Posts