"Social
security systems contribute not only to human security, dignity, equity
and social justice, but also provide a foundation for political
inclusion, empowerment and the development of democracy." Juan Somavia.
Bisa
jadi, tak banyak orang mengerti hikayat Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. Menjelang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia, 8 Juli 2009, sekelompok aktivis melakukan kampanye
publik-termasuk lobi ke markas tim sukses capres-cawapres-agar Sistem
Jaminan Sosial Nasional menjadi agenda utama. Di tempat capres-cawapres
Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto, gayung bersambut. Namun, di
markas SBY-Boediono, usul itu tak digubris.
Pada pengujung lima tahun
pemerintahan SBY-JK, amanat UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
agar membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) jalan di
tempat. Ini jelas pelanggaran konstitusi dan amanat rakyat! Pada saat
bersamaan, warga Amerika Serikat sedang eforia merayakan kemenangan
Barack Obama yang mengusung reformasi jaminan kesehatan. Jika AS yang
kapitalis liberal memperhatikan warganya yang miskin dan rentan melalui
jaminan sosial, kenapa Indonesia yang Pancasilais tidak?
Upaya itu
kemudian berlanjut di parlemen. Draf rancangan undang-undang (RUU) versi
masyarakat sipil akhirnya diterima perwakilan PDI-P tanpa banyak
komentar. Perwakilan Partai Demokrat yang juga hadir diam seribu bahasa.
Maklum, kala itu, jaminan sosial dipandang sebelah mata. Draf tersebut
lantas diambil alih menjadi hak inisiatif DPR, sekaligus diagendakan
dalam Program Legislasi Nasional.
Seiring pembahasan RUU BPJS di
Senayan, dua kelompok sama-sama menggugat jaminan sosial: pro dan
kontra. Sejatinya SJSN dan BPJS untuk siapa? Apakah perdebatan itu
sekadar kegenitan intelektual? Siapa menyuarakan kepentingan siapa?
Tirai diktator minoritas.
Menjernihkan
benang kusut BPJS dapat diurai dari sisi aktor, substansi, dan
implementasi kebijakan. Dari peta aktor, pro-kontra BPJS tidak banyak
berubah sejak legislasi UU Nomor 40 tentang SJSN pada 2004. Jika lokus
perdebatan SJSN berada di internal pemerintah, pertarungan pro-kontra
BPJS meluas antarkelompok masyarakat.
Mereka yang giat mendorong
jaminan sosial antara lain tokoh intelektual seperti Sulastomo dan
Hasbullah Thabrany. Sejumlah aktivis dan puluhan elemen serikat buruh
bergabung membentuk Komite Aksi Jaminan Sosial, menjadikan jaminan
sosial tidak semata eksklusif tuntutan buruh, tetapi kepentingan semua
warga negara melalui aksi May Day pada 2010 dan 2011.
Sementara
kelompok yang menolak SJSN dan BPJS dikomandani mantan menteri
kesehatan, yang sekarang menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden,
Siti Fadilah Supari. PT Jamsostek adalah satu di antara empat BUMN yang
paling tegas menolak BPJS. Posisi pemerintah, dari Presiden hingga
penggawanya, setali tiga uang. Kalangan pengusaha pun berdalih terbebani
biaya produksi.
Dewan Kesehatan Rakyat, Institute for Global
Justice, dan Hizbut Tahrir Indonesia adalah pendatang baru yang menolak
BPJS dengan menggugat SJSN melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Sementara wakil rakyat di Senayan yang semestinya menyerap dan memasak
aspirasi rakyat justru berposisi sebagai penggembira, menanti sinyal
dari Istana dan ikut ke mana arah angin berembus.
Hakikatnya, jaminan
sosial merupakan upaya negara melakukan redistribusi keadilan dan
kesejahteraan melalui asuransi sosial atau pajak. Jika menggunakan
asuransi sosial, risiko seseorang apabila sewaktu-waktu sakit,
kecelakaan, atau meninggal ditanggung dengan solidaritas bersama melalui
iuran. Jika menggunakan pajak, yang kaya menyubsidi yang miskin untuk
meminimalisasi kesenjangan.
Oleh karena itu, bentuk kelembagaan harus
nirlaba agar masyarakat sebagai peserta mendapat manfaat
sebesar-besarnya, bukan BUMN yang profit-oriented seperti sekarang.
Basis moral pendukung BPJS tak lain, negara kok tidak hadir melindungi
warganya secara aktif, tetapi membiarkan mereka menanggung risiko sosial
sendiri akibat kegagalan pasar. Kebijakan residual, perlindungan
minimal terhadap warga dengan peran negara pasif, senantiasa
dilanggengkan.
Celakanya, mereka yang menolak BPJS tak bisa
memberikan argumentasi memadai selain slogan dan retorika, seperti SJSN
tidak menyejahterakan rakyat atau SJSN pro-asing. Umumnya mereka
berdalih, lha, namanya jaminan, ya, harus dijamin seluruhnya oleh
negara! Sebuah argumen yang lebih menggunakan "rasa" ketimbang penalaran
subtantif. Padahal, jaminan sosial bukan bantuan sosial ala Jamkesmas,
melainkan instrumen untuk mengelola kegagalan pasar dan ketidakpastian
global.
Dari sisi implementasi kebijakan, perdebatan berkutat pada
ayam atau telur yang lebih dulu. Pemerintah senantiasa berlindung di
balik asumsi beban fiskal tidak memadai dan ketidaksiapan infrastruktur.
Uniknya, reformasi jaminan sosial di AS yang digaungkan sejak Roosevelt
dapat diimplementasikan Obama dalam kondisi AS terempas krisis ekonomi
2007.
Lebih celaka lagi, praktik jaminan sosial justru dijadikan alat
kendali politik negara atas sektor swasta (Dinna Wisnu, 2007). Dengan
label BUMN, secara politik dapat dikontrol sekaligus memerankan fungsi
investasi dan mesin pencari uang. Simbiosis mutualisme antara pimpinan
negara dan birokrat (sharing of safe haven between bureaucrats and state
leaders) masih menjadi tradisi. Dominasi perwakilan pemerintah dalam
komposisi Dewan Jaminan Sosial Nasional merupakan wajah lain kontrol
politik pemerintah.
Bukan rahasia, BUMN adalah penyedia dana
nonbudgeter bagi penguasa. Aset keempat badan pengelola, yakni
Jamsostek, Askes, Taspen, dan Asabri, sekitar Rp 200 triliun merupakan
kue manis bagi mereka yang lapar bak burung nazar. Dalam perspektif
ekonomi politik, perilaku politik predator berupa transaksi di kalangan
elite untuk uang dan kekuasaan kian menjadi kanker kronis. Apa yang
ditransaksikan jauh dari kepentingan rakyat.
Politik redistribusi.
Peter
R Orszag dalam tulisannya, "How Health Care Can Save or Sink America:
the Case for Reform and Fiscal Sustainability" (Foreign Affairs,
Juli/Agustus, 2011), mengungkapkan, kondisi fiskal Negeri Paman Sam
bergantung pada bagaimana negara membatasi biaya layanan kesehatan.
Namun, menurut mantan Direktur Badan Anggaran Kongres AS yang pernah
menjadi pejabat teras Gedung Putih itu, reformasi yang digaungkan Obama
merupakan langkah maju yang benar dan implementasinya harus ditekankan
pada kualitas ketimbang kuantitas pelayanan.
Tatkala AS dirundung
persoalan rentang usia penduduknya, sebagian besar warganya menua
sehingga produktivitas ekonomi menurun dan layanan kesehatan meningkat,
Indonesia justru dalam posisi sebaliknya. Ibarat durian runtuh,
Indonesia mujur mendapat bonus demografi, tren penduduknya berada pada
usia produktif hingga 2050. Bedanya, Obama sigap merespons fakta dan
menurunkannya menjadi kebijakan, sementara dua periode pemerintahan SBY,
Indonesia masih jalan di tempat.
Jaminan sosial semestinya menjadi
pintu politik redistribusi keadilan dan kesejahteraan sosial, peluang
menanam investasi untuk masa depan negara yang kuat. Mantan Direktur ILO
Juan Somavia (2003) menegaskan, sistem jaminan sosial yang didesain
dengan baik tidak hanya menghasilkan manfaat sosial, meningkatkan
performa pembangunan ekonomi sebagai jalan menuju kemakmuran, tetapi
juga keunggulan komparatif sebuah negara dalam kompetisi global.
Akankah
BPJS membusuk di Senayan, diimplementasikan menanti dana dan
infrastruktur mencukupi atau berjalan dulu, sambil dibenahi kemudian?
Bagaimanapun, setiap warga negara berhak atas jaminan sosial dan silakan
Anda menilainya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tulisan Perempuan
Popular Posts
-
A. Tugas Pokok Dan Fungsi Assembling Dalam Pelayanan Rekam Medis Bagian Assembling yaitu salah satu bagian di unit rekam medis yang ber...
-
Actor (pelaku) : istilah sementara yang digunakan untuk merujuk ke individu, organisasi atau bahkan negara, beserta tindakan mereka yang me...
eh ada award untukmu nih :) cek ini ya..
BalasHapus