Banyak yang bilang kalau hidup ini adalah panggung sandiwara.
Tuhan
adalah sang penulis skenario, manusia menjadi aktrisnya dan dunia menjadi panggungnya.
Boleh jadi kamu tidak menyukai peranmu yang kadang-kadang tidak sesuai dengan
set panggung. Tapi ini hidup, bukan proses shooting
yang menuntutmu setia pada satu jenis peran. Hari ini mungkin kamu protagonis
tapi esok mungkin peranmu berubah menjadi antagonis.
Sebagai seorang aktris,
kamu bebas mengekspresikan peranmu dan melibatkan tokoh lainnya dalam
panggungmu. Tapi ingat, kamu bergantung pada banyak hal sebelum mengubah
peranmu, seperti penyesuaian dengan tokoh lain dan atau set panggung. Kamu
pasti tidak ingin memainkan peran yang monoton karena aktris profesional adalah
yang mampu memainkan peran apapun.
Tidak semua tokoh mampu beradu acting denganmu. Beberapa memang bisa jadi panutan tapi sebagian
lainnya boleh jadi hanya menuntunmu ke jalan buntu.
Lalu sebagian tokoh merenung, memikirkan cara agar tidak gusar menjalani perannya di kemudian hari. Berubah kemudian menjadi pilihan. Sayangnya, tidak semua tokoh mampu mengapresiasi bahkan menerima perubahan peran dan karakter tokoh lain sehingga ada yang diam-diam pergi dan tidak hadir lagi dalam panggung kehidupanmu.
Tapi itulah pilihan.
Bukankah sebelum
menikmati sayapnya, kupu-kupu pun adalah seekor ulat?
Tenanglah, kamu tidak harus bermonolog diatas
panggung.
Dan rindu menjadi perkara baru setelah pertemuan dan bahkan
persahabatan dengan tokoh lain yang tiba-tiba menghilang dari panggung kehidupanmu. Bayangan
masa lalu menjadi begitu kuat, datang seperti beban yang menimpa ruang hati.
Opera
rindu pun dimulai. Keyakinan ada dalam dadamu bahwa dia pun demikian.
Peganglah
dulu rindumu sebaik mungkin dan simpan dalam doa. Bukankah lebih indah jika
sepasang mata yang tidak bertemu lalu dipertemukan dalam doa? Karena bagimu,
rindu adalah persimpangan yang mampu melihat segala arah dan bahkan saling
berbisik dalam sunyi.
Tapi dia terlihat sangat baik-baik saja tanpa kamu.
“Ah
mungkin beginilah seharusnya, set panggung sudah berbeda” gumammu.
Tapi
komitmen persahabatan bukanlah skrip semata yang hanya diucapkan dalam peran, ia sakral.
Saat
kamu menjumpai dia yang dulu hilang dari panggungmu, dia tersenyum dan kamu
pun demikian. Indah ternyata jika senyuman dibalas dengan senyuman, seperti
sebuah doa yang dilantunkan kemudian tiba-tiba dikabulkan. Tapi tunggu, ada yang
salah dengan senyum itu, nampak tidak simetris. Lekukannya berbeda sekian derajat dengan sisi lainnya. Itu topeng. Palsu.
Menghampiri dia seperti sebuah aib buatmu. Tapi
demi menelusuri ruang rindu yang berkecambuk di dalam hatimu, kamu pun rela
menebalkan wajah menghampirinya.
Halo atau hai telihat bukan kata yang tepat
untuk memulai percakapan. Itu hanya basa-basi.
Jarakmu kini hanya sekitar dua
meter dari dia. Entah sedahsyat apa kekuatan gravitasi disana hingga mampu
menundukan kepala kalian berdua selama beberapa menit. Mungkin itu cara kalian
mengalihkan rasa gugup.
Kamu memulainya dengan mengangkat dagu menghadap wajah yang
dulu hampir tak pernah absen dari panggungmu.
“Kita bukan lagi berperan seperti
karakter awal. Semuanya sudah berubah” kata dia yang masih asyik memandangi lantai
yang tiada menarik-menariknya, seolah tak ingin terlibat dalam percapakan
yang menimbulkan kontak mata.
Lalu ada hal lain yang kalian bicarakan dan aku
tahu. Semuanya tergambar sangat jelas dari raut wajah kalian.
Jangan kuatir,
telah kusimpan rapat-rapat rahasia besar kalian karena aku adalah seorang
penikmat drama yang sedang mendalami karakter sebagai kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar