Minggu, 10 Januari 2016

Metamorfosa


Banyak yang bilang kalau hidup ini adalah panggung sandiwara. 
Tuhan adalah sang penulis skenario, manusia menjadi aktrisnya dan dunia menjadi panggungnya. Boleh jadi kamu tidak menyukai peranmu yang kadang-kadang tidak sesuai dengan set panggung. Tapi ini hidup, bukan proses shooting yang menuntutmu setia pada satu jenis peran. Hari ini mungkin kamu protagonis tapi esok mungkin peranmu berubah menjadi antagonis. 

Sebagai seorang aktris, kamu bebas mengekspresikan peranmu dan melibatkan tokoh lainnya dalam panggungmu. Tapi ingat, kamu bergantung pada banyak hal sebelum mengubah peranmu, seperti penyesuaian dengan tokoh lain dan atau set panggung. Kamu pasti tidak ingin memainkan peran yang monoton karena aktris profesional adalah yang mampu memainkan peran apapun. 

Tidak semua tokoh mampu beradu acting denganmu. Beberapa memang bisa jadi panutan tapi sebagian lainnya boleh jadi hanya menuntunmu ke jalan buntu. 

Lalu sebagian tokoh merenung, memikirkan cara agar tidak gusar menjalani perannya di kemudian hari. Berubah kemudian menjadi pilihan. Sayangnya, tidak semua tokoh mampu mengapresiasi bahkan menerima perubahan peran dan karakter tokoh lain sehingga ada yang diam-diam pergi dan tidak hadir lagi dalam panggung kehidupanmu.





Tapi itulah pilihan. 
Bukankah sebelum menikmati sayapnya, kupu-kupu pun adalah seekor ulat? 
Tenanglah, kamu tidak harus bermonolog diatas panggung.

Dan rindu menjadi perkara baru setelah pertemuan dan bahkan persahabatan dengan tokoh lain yang tiba-tiba menghilang dari panggung kehidupanmu. Bayangan masa lalu menjadi begitu kuat, datang seperti beban yang menimpa ruang hati. 

Opera rindu pun dimulai. Keyakinan ada dalam dadamu bahwa dia pun demikian. 
Peganglah dulu rindumu sebaik mungkin dan simpan dalam doa. Bukankah lebih indah jika sepasang mata yang tidak bertemu lalu dipertemukan dalam doa? Karena bagimu, rindu adalah persimpangan yang mampu melihat segala arah dan bahkan saling berbisik dalam sunyi.

Tapi dia terlihat sangat baik-baik saja tanpa kamu. 
“Ah mungkin beginilah seharusnya, set panggung sudah berbeda” gumammu. 
Tapi komitmen persahabatan bukanlah skrip semata yang hanya diucapkan dalam peran, ia sakral.

Saat kamu menjumpai dia yang dulu hilang dari panggungmu, dia tersenyum dan kamu pun demikian. Indah ternyata jika senyuman dibalas dengan senyuman, seperti sebuah doa yang dilantunkan kemudian tiba-tiba dikabulkan. Tapi tunggu, ada yang salah dengan senyum itu, nampak tidak simetris. Lekukannya berbeda sekian derajat dengan sisi lainnya. Itu topeng. Palsu.

Menghampiri dia seperti sebuah aib buatmu. Tapi demi menelusuri ruang rindu yang berkecambuk di dalam hatimu, kamu pun rela menebalkan wajah menghampirinya. 
Halo atau hai telihat bukan kata yang tepat untuk memulai percakapan. Itu hanya basa-basi. 
Jarakmu kini hanya sekitar dua meter dari dia. Entah sedahsyat apa kekuatan gravitasi disana hingga mampu menundukan kepala kalian berdua selama beberapa menit. Mungkin itu cara kalian mengalihkan rasa gugup.

Kamu memulainya dengan mengangkat dagu menghadap wajah yang dulu hampir tak pernah absen dari panggungmu. 
“Kita bukan lagi berperan seperti karakter awal. Semuanya sudah berubah” kata dia yang masih asyik memandangi lantai yang tiada menarik-menariknya, seolah tak ingin terlibat dalam percapakan yang menimbulkan kontak mata. 

Lalu ada hal lain yang kalian bicarakan dan aku tahu. Semuanya tergambar sangat jelas dari raut wajah kalian. 
Jangan kuatir, telah kusimpan rapat-rapat rahasia besar kalian karena aku adalah seorang penikmat drama yang sedang mendalami karakter sebagai kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan Perempuan

Popular Posts